Halo, kami adalah Anak-Anak Bunda Maria. Kelompok ini awalnya dibentuk pada tahun 2012 sebagai wadah belajar Kitab Suci bagi anak-anak, namun karena berkat Tuhan, kami berkembang menjadi kelompok pelayanan belajar Kitab Suci, koor, dan persiapan sakramen bagi anak dan remaja. Kelompok ini berada di bawah reksa Paroki Blok B, Jakarta yang terbuka bagi semua anak, termasuk anak-anak dari luar negeri yang sebagian besar bukan berasal dari negara berbahasa Inggris dan juga siswa-siswi dari sekolah internasional.
Perjalanan kami menjelajahi spiritualitas Ignasian dimulai saat Pastor Paroki Blok B, Pater Aluisius Pramudya Daniswara, S.J. atau akrab disapa Pater Pram, (dengan bahasanya) memaksa kami mencoba melakukan Percakapan Rohani dalam retret tahunan kami. Saat itu kami mengira itu hanya program biasa seperti yang lainnya. Tak disangka, justru menjadi benih transformasi bagi kami para katekis dan anak-anak yang kami dampingi.
Sebagai katekis, kami berusaha mengadakan retret sehari sekali setahun. Momen itu menjadi waktu bagi kami untuk mengisi ulang energi, berhenti sejenak dari rencana pembelajaran dan prakarya, serta merasakan kesatuan dalam kelompok. Biasanya, suasananya hening dan berpusat pada mendengarkan refleksi pater.
Namun kali ini, pater mengajak kami melakukan aktivitas berbeda, yaitu Percakapan Rohani—di mana kami mendengarkan dengan seksama, berbagi cerita secara bebas dan nyaman, serta membiarkan Roh membimbing apa yang akan terjadi di tengah kami. Awalnya terasa aneh, tetapi nyatanya berhasil. Kami merasa tidak hanya disegarkan, tetapi juga lebih terhubung satu sama lain. Kami berbagi harapan dan usaha-usaha kami, bukan sekadar sebagai sesama rekan katekis, melainkan sebagai sahabat dalam perutusan bersama. Sejak itu, kami sering mempraktikkannya berkali-kali. Dalam formasi 12 minggu bagi para katekis baru yang terakhir ini dilakukan, kami mengakhirinya dengan percakapan Rohani, di mana setiap peserta berbagi hal-hal yang mengejutkan mereka, ketakutan-ketakutan, serta harapan dalam karya pelayanan mereka. Tak salah lagi, buah dari kegiatan ini adalah rasa persaudaraan dan perjumpaan satu sama lain dalam suasana otentik tanpa dibatasi peran, jabatan, maupun tugas. Kami mulai melihat diri kami bukan lagi sekadar sesama katekis, melainkan sahabat dalam perjalanan bersama.
Tentu saja, setelah bercerita kepada Pater Pram tentang buah-buah rohani yang kami alami, ia “memaksa” kami lagi, untuk melakukan Examen. Sebagai awam yang melayani di paroki Jesuit, kami mengira sudah memahami Examen. Selama bertahun-tahun, kami telah mengajarkan anak-anak untuk berdoa dalam tiga langkah sederhana, yaitu pertama bersyukur kepada Tuhan, kedua memohon pengampunan, dan terakhir mengungkapkan harapan/permohonan. Kami berpikir, “Sudah! Kami mengerti ini!” Namun, ia mengingatkan bahwa doa lebih dari sekadar kata-kata, itu adalah pengangkatan hati dan jiwa kepada Tuhan. Dengan lembut namun tegas ia meminta kami tidak hanya mempraktikkan Examen sendiri, setiap hari dan secara tertulis, tetapi juga membawanya ke dalam sesi dengan anak-anak. “Melalui ini,” ia bersikeras, “kita dan anak-anak akan mengenal diri kita lebih dalam.”
Jujur saja, kami sempat menunda-nunda. Di tengah rencana pembelajaran, pekerjaan, dan persiapan sakramen yang harus ditangani, latihan ini terasa seperti satu beban tambahan. Namun, dalam semangat Jesuit yang sejati, kami tetap menjalankannya. Kami mulai dengan para calon Krisma, meminta mereka melakukan doa Examen setiap malam dan menuliskannya. Awalnya kami tidak banyak berkomentar, hanya memastikan mereka melakukannya. Setelah tiga minggu, kami menjadwalkan percakapan rohani satu per satu dengan setiap calon. Kami tidak tahu apa yang akan muncul. Tidak terbayangkan, apa yang terjadi justru mengejutkan kami.
Saya tidak akan pernah lupa seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun yang dengan setia menulis Examen setiap malam. Buku catatannya penuh refleksi. Saya membacanya seperti seorang detektif, lalu bertanya: “Apa pola yang kamu lihat? Apa yang paling sering kamu syukuri, yang kamu mohonkan pengampunan, dan apa yang menjadi permohonanmu?” Ia membalik halaman-halaman bukunya, lalu menatap saya dengan suara pelan, “Saya cenderung sering mengumpat.” Ia menunjuk beberapa catatan yang menuliskannya. Saya bertanya dengan lembut, “Mengapa kamu melakukan itu? Apakah mengumpat betul cara terbaik untuk mengekspresikan diri?” Ia berpikir cukup lama sebelum menjawab, “Karena itu yang dilakukan teman-temanku. Rasanya biasa saja, meskipun dalam hati saya tahu itu salah.” Kami diam. Lalu aku bertanya, “Jika kamu bisa memberi nasihat pada dirimu sendiri, apa yang akan kamu katakan?” Dia berhenti sejenak, lebih lama kali ini, dan akhirnya berkata dengan kata-kata yang menusuk hati, “Jangan lakukan apa yang menurut kita biasa!”
Pada saat itu, Roh Kudus menyentuh hatinya: sederhana namun jelas dan kuat. Melalui Examen, anak muda ini tidak hanya menemukan kelemahan pribadinya, tetapi juga keberanian untuk menolak kepatuhan buta. Itu adalah pengenalan akan kehendak Tuhan yang nyata, lahir bukan dari ceramah, melainkan dari doanya sendiri. Aku begitu terharu hingga hampir menangis.
Percakapan lainnya sama mengharukannya. Seorang anak laki-laki berusia 14 tahun mengaku merasa terjebak dalam rutinitas, kosong, dan jauh dari Tuhan. Seorang gadis remaja berbagi bagaimana Examen membantunya menyadari dan bersyukur atas berkat-berkat kecil dan biasa yang ia terima setiap hari. Seorang lagi berbicara jujur tentang frustrasi akibat tekanan tak berujung untuk berprestasi di sekolah. Dan seorang gadis berani, dengan air mata di matanya, mengajukan pertanyaan yang membebani hatinya, “Apakah nenekku yang sudah meninggal diselamatkan?” Ada senyuman, tawa, dan ya, air mata. Kami belum pernah melihat kejujuran seperti itu dalam program-program sebelumnya.
Kami tidak siap menghadapi emosi yang muncul, tetapi itu adalah jenis kelebihan yang kudus. Setelah 13 tahun melayani MMK, kami semakin memahami bahwa menjadi seorang katekis tidak berarti melulu mengajarkan doktrin tetapi juga mendampingi sebagai teman dan rekan seperjalanan. Itulah anugerah sejati dari percakapan rohani dan Examen.
Pada malam itu juga, kami menelepon Pater Pram untuk berbagi kegembiraan dan kekaguman kami. Kami bukanlah ahli spiritualitas Ignatian, melainkan sekadar saksi dari buah-buahnya. Dan jika Anda adalah seorang katekis yang membaca ini, kami ingin mendorong Anda untuk membiarkan diri “dipaksa” juga melakukan Percakapan Rohani dan Examen, bahkan ketika terasa canggung dan seolah seperti melakukan pekerjaan tambahan. Sebab justru di saat-saat seperti itu Roh bekerja. Kadang, kebijaksanaan terdalam muncul begitu saja dari mulut seorang anak laki-laki berusia 13 tahun:
“Jangan lakukan apa yang tampak biasa dan normal!”
Kontributor: Joanne – Katekis Mother Mary’s Kids (MMK)