Carlo Acutis dan Pier Giorgio Frassati:
Muda, tampan, berasal dari keluarga terpandang, atletis, mampu menginspirasi dan menyatukan orang, penuh semangat, pencari kebenaran, dan peduli terhadap mereka yang paling terpinggirkan. Pier Giorgio Frassati (1901-1925) dan Carlo Acutis (1991-2006) memiliki banyak kesamaan. Keduanya bersekolah di sekolah Jesuit, di Turin dan Milan. Saat mewawancarai guru-guru yang mengenal mereka atau mempelajari secara mendalam mengenai kesaksian hidup mereka, beberapa kesamaan muncul seiring dengan wawasan untuk memperbarui pendidikan masa kini.
“Banyak Hal Lain yang Dapat Dilakukan”
Mereka bukan kutu buku. Keduanya punya banyak ‘hal lain yang harus dilakukan.’ Dokumen dan guru mengkonfirmasi hal ini. Terkadang Carlo, meskipun seorang siswa yang cerdas, tidak menyelesaikan PR matematikanya karena ada ‘komitmen’ lain. Maria Capello, guru matematikanya selama tahun keempat sekolahnya di Istituto Leone XIII Milan, mengenang: “Dia tidak terlalu bersemangat dengan mata pelajaran saya,” katanya. “Terkadang dia datang terlambat. Tahun ajaran berakhir dengan nilai yang sedikit buruk. Saya memberi nilai 5 untuk orang suci! Baru kemudian saya tahu apa sebenarnya ‘komitmen’ itu. Dia sedang melakukan karya kasih, diam-diam, tanpa pamer. September berikutnya, nilainya pulih dengan cemerlang, tapi saya tak sempat lagi menyampaikannya langsung kepadanya.” Hal ini dikonfirmasi oleh Antonio Bertolotti, guru bahasa Italia-nya pada tahun 2005. “Dia anak biasa saja, cukup rata-rata. Humaniora adalah bidang yang paling membuatnya merasa nyaman. Saya tidak tahu apa yang dia lakukan di luar jam sekolah. Kepergiannya adalah peristiwa yang mengejutkan. Dari situlah kami mulai menyatukan kepingan kisahnya.”
Sementara itu Frassati sempat gagal dua kali dalam pelajaran Latin di Sekolah Menengah Klasik Massimo d’Azeglio, lalu pindah ke Istituto Sociale. Ia menerima kegagalannya dengan lapang dada. “Surat yang ditulis Pier Giorgio untuk ayahnya sungguh indah, yaitu keinginannya untuk memperbaiki diri dan untuk maju,” kata Antonello Famà, seorang guru agama senior di sekolah itu. Moto hidupnya lahir dari sana, “hidup, jangan hanya sekadar ada.”
Mencari secara mendalam
“Pertanyaan, pertanyaan — dan senyumnya. Rasa ingin tahu yang selalu positif,” kenang Fabrizio Zaggia, guru agama Carlo di tahun keempat sekolahnya.
“‘Kembali ke tempat dudukmu! Kita harus mulai pelajaran,’ terkadang saya menyuruhnya — meskipun, lebih sering, sayalah yang akhirnya mengubah pelajaran karena pertanyaannya.” Bertolotti, yang sekarang menjadi kepala sekolah menengah pertama di Leone XIII, setuju. “Sering kali pertanyaannya mencapai lima belas, baru saya suruh ia kembali ke bangkunya. Topiknya beragam, dari pelajaran sampai isu-isu aktual. Ia benar-benar tertarik, bahkan ingin berbagi gagasan dengan saya. Saya terutama ingat tulisan tangannya — sangat kecil. Dia sangat kreatif dalam menulis esai, bisa lima atau enam halaman panjangnya. Terkadang saya frustrasi mengoreksinya. Tulisannya seperti tulisan orang dewasa; tidak ada kekanak-kanakan sama sekali.” Ketika jam pelajaran berakhir dan guru matematika masuk, dia kemudian akan mengalihkan pertanyaannya kepada gurunya: “Saya ingat mengira dia terlalu muda untuk pertanyaan seperti itu. Dia sering berhenti untuk berdoa di kapel sekolah. Kami kemudian mengetahui dia melakukan hal yang sama di parokinya.”
Frassati, yang bergabung dengan Istituto Sociale pada tahun 1913, menemukan harta rohani lewat Latihan Rohani di Villa Santa Croce. Ia berdoa dan menerima komuni kudus setiap hari. Ia memiliki iman yang aktif, yang diwujudkan dalam sejarah dan kasih.
Kaum muda untuk orang lain
“Tiga, dua, satu: Menga masuk ke dalam kelompok!” Itu adalah kalimat dari film pendek yang disutradarai Carlo dan dibuat bersama kelasnya, atas saran guru agama mereka, untuk berpartisipasi dalam kompetisi yang mempromosikan karya sosial. “Panitia menolak film pendek karya seorang santo,” kata guru itu sambil tersenyum. Kami tidak menang, tetapi Carlo berhasil melibatkan semua orang dalam proyek itu. Saya ingat betapa sangat ringan tangan, “Jangan khawatir: Saya akan merekamnya, mengeditnya, dan memilih musiknya,” katanya kepada saya. Saya ingat bahkan ia memasukan musik latar karya Morricone, the Mission. Dia sangat berhati-hati agar tidak ada yang dikucilkan, terutama mereka yang introvert dan yang lebih lemah. Dia adalah teman semua orang. Dia tegas dalam ide-idenya, tetapi tidak pernah marah atau suka memerintah.” “Dia tenang,” tambah Bertolotti, “dan seseorang yang bisa dipercaya. Terutama teman-teman sekelasnya, sangat senang mengobrol dengannya dan mencurahkan isi hati mereka.”
Banyak teman yang sering mendaki gunung bersama Pier Giorgio dan bersama beberapa dari mereka, ia mendirikan “Compagnia dei Tipi Loschi” (perkumpulan anak-anak jahil), yang di tengah canda tawa dan semangat yang tinggi, mendambakan hubungan yang mendalam dan autentik berdasarkan doa dan iman. “Kegembiraan hidup dan kedalaman hubungan adalah kualitas-kualitas yang berpadu sempurna di dalamnya,” tegas Famà, menggambarkan mereka sebagai pembangun komunikasi yang lihai.
Perhatian pada yang Terkecil
Keduanya melangkah keluar dari zona nyaman tempat mereka dilahirkan. Privilege? Bagi mereka, itu sarana untuk melayani yang kecil. Di Istituto Sociale, Pier Giorgio bertemu dengan Serikat Santo Vincentius de Paul. “Ia memasuki rumah-rumah kaum miskin di Turin tahun 1920-an. Ia mencium bau busuknya. Ia tidak menutup hidungnya, melainkan merangkul situasi-situasi tersebut. Ini bukan tentang estetika kasih, melainkan tentang berbagi, tentang perhatian konkret kepada kaum pinggiran seperti yang telah diutarakan oleh Paus Fransiskus,” jelas Famà. “Gairahnya untuk belajar muncul kemudian di Politeknik. Ia memilih teknik pertambangan karena ia ingin bekerja bersama para penambang agar bisa meningkatkan kondisi hidup mereka.”
“Dia menolong siapapun yang ditemuinya,” kenang Profesor Capello tentang Carlo. “Dia mengulurkan tangan kepada orang lain, tanpa pernah menoleh ke belakang. Dia memberikan apapun yang dia bisa, misalnya kantong tidur dan selimut untuk orang miskin. Kepada mereka yang tidak membutuhkan apapun, dia menawarkan senyumnya. Dia memberikan hidupnya untuk orang lain.” “Proses kanonisasi? Proses itu tidak disambut positif oleh teman-teman sekelasnya,” ungkap Bertolotti, “terutama oleh mereka yang paling cerdas. Kekudusan menimbulkan sedikit rasa tidak nyaman, terutama ketika itu milik teman sekelas yang duduk tepat di sebelahmu.”
Nasehat untuk Guru Masa Kini
Kesaksian diatas menantang para orang tua, guru, dan pendidik saat dihadapkan dengan banyaknya anak muda yang mereka jumpai — unik, istimewa, dan masing-masing berpotensi menjadi orang suci.
Amati dan Dengarkan
“Ada hal-hal yang lebih penting bagi anak muda daripada pekerjaan rumah dan belajar. Kita harus belajar mendengarkan. Mereka memiliki pesan-pesan berharga yang mungkin tidak langsung kita pahami,” jelas Capello. “Berawal dari pesan-pesan tersebut, kita kemudian dapat menemukan cara untuk membangkitkan minat dan rasa ingin tahu, membantu setiap orang untuk tumbuh dan dewasa.” “Di balik setiap anak muda ada misteri (dimana) Tuhan sedang bekerja, meskipun kita tidak melihatnya,” tambah Zaggia.
Tempatkan Siswa sebagai Pusat untuk Mempromosikan Magisnya
“Generasi muda saat ini sering kali mengalami pembelajaran dengan cara yang pasif — seolah-olah sedang ‘berbaring’ saja. Pendekatan mereka terhadap teknologi seperti ‘pengumpul,’” Bertolotti menekankan. “Hal ini tidak memerlukan usaha yang nyata. Filosofi copy-paste itu mirip dengan manusia Neanderthal. Mereka tidak penasaran karena tidak merasa berada di pusat proses belajar, bahkan tidak merasa terlibat di dalamnya. Sebaliknya, mereka tersesat dalam mare magnum yang luas, yakin bahwa mereka hanya perlu mengulurkan tangan untuk mendapatkan apa yang mereka mau.
Kendala lainnya adalah dalam komunikasi, yaitu mereka tidak tahu bagaimana merumuskan atau mengungkapkan pikiran mereka. Tidak ada alur logis, bahkan dalam pesan WhatsApp mereka. ‘Kecerdasan buatan akan menyelesaikan masalah ini!’ pikir mereka. Carlo bukan salah satu dari mereka. Dia melakukan jauh lebih banyak. Dia membuka tabir dunia di hadapannya. Kepada kaum muda, saya sampaikan: “jangan sia-siakan waktumu—bahkan waktu sekolahmu!”
“Kita perlu membantu kaum muda menemukan kembali hasrat untuk mengetahui dan menemukan,” tambah Famà. “Dengan mengakui kaum muda sebagai subjek dari proses pendidikan — dan refleksi kita sebagai guru — kita dapat mendukung mereka di saat-saat sulit, menghargai dan mengembangkan keunikan mereka. Magis dari Pedagogi
Ignatian bukanlah konsep teoritis, melainkan konsep relatif,” tegas Famà. “Setiap orang memiliki Magis-nya masing-masing. Di sisi lain, gagasan tentang keunggulan masa kini justru bersifat eksklusif. Tuhan memiliki rencana bagi kita masing-masing, yang unik, berbeda, dan Ia tidak mengecualikan siapapun.”
Pendekatan Pengajaran Berbasis Pengalaman
“Penting untuk mendorong inisiatif dalam berbagai konteks. Memberikan kesempatan kepada kaum muda untuk memiliki pengalaman nyata, yang membantu mereka lebih memahami diri sendiri dan orang lain, serta membantu kita bertumbuh bersama mereka,” jelas Capello. “Ada banyak proyek aktif di sekolah-sekolah Jesuit, misalnya kegiatan sukarela dan perjalanan peziarahan yang bertujuan untuk memelihara hubungan dan mengajarkan siswa untuk melihat dunia dengan sudut pandang baru.”
Melayani Orang Lain
“Dari kotak kebaikan ke rantai pangan, hingga penggalangan dana untuk berbagai inisiatif amal — ada banyak sarana yang kami gunakan, sejak siswa masih kecil,” jelas Profesor Zaggia. “Seiring mereka bertumbuh, kesempatan pun semakin besar, yang dalam jejaring sekolah-sekolah Jesuit sudah menjadi bagian yang terstruktur. Pengalaman di Scampia, di Afrika, memberi mereka kesempatan untuk menyelami realitas yang berbeda, menantang diri sendiri, dengan bebas meluangkan waktu, dan memperoleh cara pandang yang baru. Di luar negeri, pengalaman-pengalaman semacam ini kini sudah menjadi bagian dari kurikulum.”
Perhatian terhadap Kerentanan
“Kita masih perlu belajar mengenali dan merangkul kerentanan, seperti yang dilakukan Piergiorgio dan Carlo. Tidak hanya dari perspektif amal, tetapi juga dalam hal aksi politik,” tambah Famà. “Menciptakan peluang, terlibat dalam dialog, dan mengupayakan keadilan sosial.”
Dari Ruang Kelas hingga Lapangan Santo Petrus, para guru pada hari Minggu berada di sana, di samping altar, siap untuk belajar kembali dari dua “siswa cemerlang” tentang seni hidup seutuhnya.
—
Sumber: Jesuit Global (https://jesuits-eum.org/acutis-and-frassati-top-of-the-class-no-saints-in-life-advice-for-todays-teachers/). Terjemahan bahasa Indonesia oleh Bonifasia Amanda.
Kontributor: Laura Galimberti – Jesuit Global