Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada 17 Mei 2025, saya (Dionisius Adven Pramana) dan teman-teman kelas X SMA Kolese de Britto, berkunjung ke Keraton Surakarta dalam rangka pelaksanaan P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Tujuan kami ke sana adalah untuk mengetahui dan mempelajari budaya Keraton Surakarta yang hendaknya bisa kami dapatkan dari pihak keraton. Kami menempuh perjalanan kurang lebih sekitar 1 jam lamanya. Jalan-jalan yang kami lalui terlihat nyaman untuk dinikmati. Sayangnya saya tidak duduk disamping jendela. Namun hal itu bukanlah suatu kekurangan, justru hal ini merupakan kesempatan bagi saya untuk bersosialisasi dengan teman sebelah saya. Untungnya, teman sebelah saya merupakan orang yang dekat dan bisa diajak bersosialisasi, sehingga perjalanan menuju Keraton Surakarta tidak sepi. Setelah sekian waktu memperhatikan jalan dan sekeliling, kami sampai di Keraton Surakarta.
Kami datang melalui pintu utama, pintu yang berupa gerbang besar, tempat kendaraan masuk ke wilayah Keraton. Keraton ini memiliki 7 bagian unik, dan kami telah melewati pintu yang pertama. Uniknya setiap pintu dalam keraton memiliki filosofinya tersendiri. Seperti gerbang pertama yang kami lewati ini namanya adalah Nggladhak. Memiliki filosofi kelahiran seorang manusia ke dunia. Terdiri atas dua Arca Gupala, manusia yang lahir harus menerima apa adanya (Nrima Ing Pandun). Secara fungsi, biasanya tempat ini digunakan sebagai tempat penyembelihan hewan pada acara tertentu. Setelah melewati pintu pertama, kami masuk lebih dalam dan menemui dua pasang beringin. Kali ini filosofi dari tempat ini adalah kewibawaan seorang pria dan keanggunan seorang perempuan. Ini menyimbolkan bahwa di dunia ini hanya ada dua manusia, laki-laki dan perempuan. Masuk lebih dalam, kami sampai pada tempat bernama Kori Wijil, yaitu tempat di mana manusia sedang menuju kedewasaannya. Tempat ini merupakan arah menuju bagian dalam keraton yang dapat dilewati kendaraan juga, terutama motor. Filosofinya pula, dalam fase ini, manusia sudah harus mengetahui tujuan dan kedudukannya dalam hidup. Menyeberang jalan Kori Wijil, kami melewati tempat bernama Kori Mangu. Cermin besar terpampang di tempat ini. Fungsinya untuk berintrospeksi diri, apakah kita sudah layak, secara fisik, penampilan, sikap, dan yang terpenting, sudahkah hati kita siap memasuki area yang lebih dalam di keraton? Setelah melewati Kori Mangu, selanjutnya kami melewati Braja Nala. Braja Nala memiliki makna Senjata Batin.
Filosofinya, manusia harus mempertajam batinnya untuk bisa lebih dekat dengan Sang Pencipta. Tempat ini memiliki dua bangunan, Marchu Kunda (berfungsi untuk menghukum Putra Dalem yang melanggar aturan keraton) dan Kedhaton (Kenaikan pangkat Abdi Dalem). Uniknya, walaupun kedhaton merupakan tempat menerima ganjaran/kenaikan pangkat, kami tetap diterima sebagai tamu dan dipersilakan istirahat di sini. Setelah itu, kami masuk lebih dalam ke tempat bernama Kori Kemandungan. Tempat ini adalah tempat untuk sekali lagi berintrospeksi diri, apakah sudah layak secara penampilan, fisik, pikiran, dan hati untuk memasuki Keraton? Setelah melewati Kori Kemandungan, kita akan sampai kepada tempat yang bernama Sri Manganti. Tempat ini berupa Gerbang dengan pintu biru besar. Jika seseorang ingin bertemu dengan Raja, maka orang tersebut harus menunggu di gerbang ini hingga ada utusan dari Raja yang memanggil. Itulah kenapa arti nama Sri Manganti adalah raja menanti. Dari segi filosofinya, tempat ini melambangkan surga. Setelah kita hidup sekian lama dengan berbagai macam dinamikanya, kita pada akhirnya akan kembali ke dalam rumah bapa.

Sebenarnya masih banyak lagi tempat tempat keraton yang hendak saya tuliskan, namun itulah tempat yang sempat kami kunjungi. Dari pengalaman itu, saya dapat melihat nilai budaya yang terukir di sana menarik untuk didalami. Uniknya, nilai budaya dan spiritualitas yang ada dalam keraton ini memiliki kesamaan dengan spiritualitas Ignasian-Jesuit yang dipegang oleh SMA Kolese de Britto.
Corak warna biru pada bangunan keraton menunjukkan Ketuhanan, seperti warna langit biru yang melambangkan ketinggian dan besarnya Tuhan. Keraton Surakarta juga percaya kepada Tuhan dan mengharapkan tuntunan dari-Nya dalam menjalani hidup seperti de Britto yang memiliki spiritualitas Ad Maiorem Dei Gloriam, demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar. Artinya dalam hidup pun de Britto juga mengharapkan tuntunan dan menyandarkan pengharapan kepada Tuhan agar hidup ini sejalan dengan rencana-Nya. Bukankah ini berarti de Britto dan Keraton Surakarta memegang Spiritualitas yang sama tentang pengharapan kepada Tuhan meski dengan bahasa yang berbeda?
Spiritualitas lain yang sangat menarik adalah dua cermin besar yang terdapat dalam Keraton. Cermin itu mengajak kita merefleksikan dan juga introspeksi kita apakah kita sudah layak untuk masuk Keraton atau belum. Bangunan dalam keraton, diinterpretasikan sebagai surga, sedangkan dua cermin itu adalah tempat untuk mengintrospeksikan diri kita apakah sudah layak untuk masuk atau belum. Spiritualitas ini mirip dengan Examen yaitu merefleksikan apa yang sudah kita lakukan hari ini dan kesalahan apakah yang bisa diperbaiki dan juga apakah yang bisa kita perbuat selanjutnya. Hal ini menarik karena terdapat dua kali kesempatan untuk berefleksi. Ini penting karena refleksi menjadi waktu untuk menyadari apa yang sekiranya kurang dan dapat diperbaiki. Terkadang, refleksi yang sudah kita lakukan harus kita beri pendalaman kembali agar lebih berkesan, terasa, dan tidak ada yang mengganjal di hati. Karena inti tujuan dari refleksi bukanlah sekadar berhenti pada menyadari kesalahan dan kekurangan dan mengerti bagaimana cara mengatasinya, melainkan melakukannya. Saat ingin melakukan suatu kegiatan kita memang harus merencanakannya terlebih dahulu. Namun jika rencana tersebut tidak dijalankan, maka tidak akan ada hasil atau nilainya. Oleh karena itu, pemaknaan dan pendalaman sangat penting agar kita tertarik dan tergerak untuk melakukan apa yang sudah kita rencanakan. Mirip seperti Examen yang dianjurkan dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu siang dan malam. Ini juga menunjukkan spiritualitas lain yang sama dengan de Britto. Spiritualitas atau semangat untuk melakukan pembenahan diri melalui refleksi yang lebih mendalam yang tidak hanya berhenti pada mengetahui dan menyadari, namun melakukannya. Tidak menjadi persoalan besar meski refleksi yang dilakukan oleh Keraton dan de Britto memiliki bentuk yang berbeda.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam mencapai tujuan yang sama, tidak hanya dapat dicapai hanya dengan satu jalan tetapi dapat pula melalui berbagai jalan yang berbeda yang mengarah pada satu tujuan yang sama. Contohnya adalah tentang spiritualitas yang dimiliki di SMA Kolese De Britto dan Keraton Surakarta. Dimana keduanya memiliki cara dan ciri yang berbeda namun mengarah pada satu tujuan yang sama. Itulah inti dari P5 kami pada hari itu. Dan itulah alasan judul refleksi ini ditulis sedemikian rupa.
Hal ini tidak hanya terbatas pada spiritualitas yang sudah dibahas namun tentang cara kita memandang berbagai hal. Salah satu hal konkretnya adalah tentang agama dan kepercayaan. Saat kita melihat dan merasa apa yang kita percayai benar dan memandang kepercayaan yang berbeda, maka belum tentu kepercayaan yang berbeda tersebut menghasilkan hal yang buruk di mata kita. Perbedaan jalan dan cara itu wajar meskipun hal yang dituju sama. Dalam konteks ini, banyak agama dan kepercayaan yang mengajarkan kita untuk percaya dan mengikuti Tuhan, berbuat baik, menjauhi yang jahat, dan sebagainya. Agama-agama mengajarkan demikian namun kita sering kali sibuk mengkotak-kotakkan. Kita tidak berhak menghakimi apa yang menjadi hak orang lain terkait dengan kepercayaan mereka sebab itu adalah relasi privat dirinya dengan Tuhan. Saya menulis ini sebagai bentuk concern atau kepedulian saya terhadap diskriminasi dan pembeda kelas sosial yang berawal dari perbedaan keyakinan.
Tidak hanya agama, terkait cara belajar dan cara memandang alam sekitar, kita pun akan melihat berbagai masalah yang berbeda dalam hidup. Namun dari masalah tersebut, kita memiliki satu tujuan, yaitu untuk mengembangkannya. Dalam hidup studi kita memiliki banyak cara untuk belajar, ada yang benar dan ada yang salah, namun jika tujuannya sama, entah dengan membaca buku, mendengarkan guru, latihan soal, atau lainnya, maka jika tujuannya sama, yaitu meningkatkan kualitas pembelajaran dan kemampuan belajar, maka hasilnya akan mengarah dengan apa yang ingin kita tuju tersebut.
Kontributor: Dionisius Adven Pramana – Siswa SMA Kolese de Britto