capture imaginations, awaken desires, unite the Jesuits and Collaborators in Christ mission

Senja di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah

Date

Minggu, 27 April 2025, adalah hari yang dinantikan oleh para volunteer Perkampungan Sosial Pingit (PSP). Jam 16.00 WIB, volunteer PSP dan frater pendamping berkumpul di Pingit dan berangkat. Perjalanan yang ditempuh tidaklah jauh namun cukup tricky bagi pendatang pertama kali karena harus memasuki kampung daerah Cokrodiningratan yang banyak belokan. Lokasinya yang bisa dibilang tersembunyi pada sebuah kampung di belakang projek bangunan mangkrak seakan menyiratkan makna: ada sebuah kisah perjuangan hidup dari kelompok yang termarginalkan di balik megahnya kota Jogja yang jarang mendapat sapaan hangat dari masyarakat (atau mungkin sengaja tak disapa oleh masyarakat atas nama kebaikan, atas nama moral, dan mungkin, agama?). Dan di sinilah kami berada, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah.

 

Para santri penghuni Pondok Pesantren (Ponpes) Waria Al-fatah begitu hangat menyambut kehadiran kami yang hendak berdialog sore itu. Adalah Kak YS, seorang transgender perempuan (transpuan) yang sangat excited mempersilakan kami masuk. Kak YS menceritakan banyak hal bagaimana Ponpes Al-Fatah ini didirikan. (Alm) Ibu Shinta Ratri yang merupakan seorang transpuan Muslim sekaligus aktivis HAM mendirikan Ponpes Al-fatah pada tahun 2008. Berjalannya waktu, ponpes ini sempat berpindah-pindah lokasi akibat penolakan warga dan bahkan sempat ditutup akibat persekusi dari kelompok konservatif. Setelah sebelumnya dari Kota Gede, Ponpes Al-Fatah kini berlokasi tak jauh dari Tugu Jogja. Tujuan didirikannya ialah untuk memberi tempat bagi rekan-rekan LQBT, khususnya transpuan, untuk beribadah dengan nyaman serta belajar mengaji dan membaca Al-Quran didampingi beberapa rekan mahasiswa relawan, ustadz, dan bahkan pendeta.

 

Tak hanya santri yang beragama Islam saja, Ponpes Al-Fatah juga membuka pintu bagi rekan-rekan transpuan yang beragama Kristen. Melihat realita diskriminasi berupa penolakan yang dialami oleh rekan-rekan transpuan, Ponpes Al-Fatah menjadi rumah yang memenuhi kebutuhan afeksi cinta kasih sebagai seorang makhluk hidup. Mereka mendekatkan hati kepada Sang Sumber Kasih itu sendiri. Disela-sela pergulatan hidup dan berbagai tekanan yang dialami, kasih yang mereka terima melalui keluarga Ponpes Al-fatah diwujudkan pula dalam kehidupan sehari-hari. Banyak santri yang terlibat dalam kerja bakti masyarakat dan kegiatan LSM. Ada pula yang belajar make up, pijat, usaha catering, dan berjualan agar mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Di tengah keterbatasan akses akibat identitas yang mereka yakini, mereka tetap berjuang hidup mandiri. Beberapa ada yang masih bekerja sebagai pengamen jalanan dikarenakan tidak dapat memenuhi kriteria pekerja di lembaga-lembaga tertentu; mereka tidak memiliki kartu pengenal identitas seperti KTP.

 

Kak YS berkisah bahwa dirinya dan rekan-rekan transpuan masih saja mendapat stigma negatif dari masyarakat, bahkan dari pemuka agama. Contohnya, dalam sebuah kegiatan seminar edukasi, Kak YS yang mewakili kaum transgender mendapat pengalaman diberi label bahwa sebagai seorang transpuan merupakan perbuatan dosa dan disuruh bertobat, kembali menjadi laki-laki cisgender. “Padahal, aku emang sudah merasa sejak kecil bahwa aku ini perempuan walaupun terlahir sebagai laki-laki. Umur 3 tahun aja aku udah pakai rok. Ada, lho, fotonya!” Di balik diskriminasi yang mereka alami, prinsip hidup yang menjadi langkah awal bagi rekan-rekan santri Ponpes Al-Fatah ialah penerimaan diri. “Tetap akan selalu ada orang-orang yang menuntutmu menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Tapi selama kamu jadi diri sendiri, keinginan pribadi mereka tidak akan menggoyahkan dirimu. Dan langkah awalnya adalah menerima diri apa adanya, siapa pun diri kamu,” tutur Kak YS dengan mata berkaca-kaca.

 

Volunteer Pingit x Ponpes Waria Al Fatah. Dokumentasi: Penulis

 

Arif Nur Safri, ustadz yang mendampingi para santri belajar agama, memberi kami nasihat untuk berpikir lebih kritis dengan stigma dan label yang ada terhadap rekan-rekan transgender. Mungkin kita pernah mendengar stigma soal waria, banci, bencong atau apa pun sebutannya itu yang kemudian tanpa sadar pikiran mengadopsinya menjadi asumsi negatif terhadap kelompok-kelompok tertentu. Membaca dan berdialog memampukan kita agar menjadi pribadi dengan pemikiran yang mandiri. Diskriminasi itu terus mereka alami selama masih belum banyak orang yang terbuka dan teredukasi bahwa tiap individu memiliki hak atas identitas pribadinya masing-masing.

 

Momen dialog ini memang momen yang kami nantikan. Seminggu seusai perayaan Paskah dan kurang dari sebulan perayaan Idul Fitri. Momen dialog yang menggugah kesadaran kami soal kasih, yaitu nilai utama yang Yesus ajarkan melalui pesan wafat-Nya di kayu salib. Perlu ada perspektif kasih dalam memandang kelompok tertentu yang termarginalkan. Sebagaimana Yesus yang selalu berpihak kepada orang miskin, lemah, dan tersingkir, kita diutus pula untuk merengkuh mereka dengan penuh kasih sebagai seorang sahabat yang sederajat, bahkan saudara. ”Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” Injil Markus 3:35 mengajarkan bahwa persahabatan dan persaudaraan tidak hanya sebatas hubungan darah. Kita semua adalah anak-anak Allah jika hidup dalam kebaikan. Apalagi melakukan perbuatan yang dikehendaki Allah seperti mewujudkan cinta kasih, keadilan, dan perdamaian bagi sesama tanpa membeda-bedakan gender, agama, suku, dan lainnya.

 

Waktu terasa sangat singkat. Matahari mulai terbenam diiringi suara adzan maghrib. Kami pamit untuk kembali ke kesibukan kami masing-masing, namun dalam hati berjanji untuk tidak sibuk sendiri. Masih banyak teman-teman kami yang masih terpinggirkan oleh dunia. Satu hal yang menghidupkan kembali semangat kepedulian kami terhadap sesama yang terpinggirkan dengan menjadi volunteer mengajar anak-anak di Pingit. Kakak-kakak santri yang senyumnya tidak pernah lepas melepas kepulangan kami. Kami menghaturkan rasa terima kasih atas dialog singkat yang manis sore ini. Terima kasih atas inspirasi yang nyata bahwa keadilan dapat sungguh-sungguh diperjuangkan dengan penuh kasih. 

 

Dan senja yang hangat sore itu mengantar kepulangan kami selepas bercengkrama bersama santri transpuan di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah.

 

Kontributor: Basilika Rain (volunteer pengajar Perkampungan Sosial Pingit)

More
articles

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *