Menemani kaum muda dalam menciptakan masa depan yang penuh harapan
(Preferensi Kerasulan Universal)
Kali ini saya hendak berbagi kisah tentang Makau, sebuah kota kecil di sebelah Selatan dari negara Cina. Banyak orang mengenal kota ini sebagai “the Las Vegas of Asia”. Kotanya bahkan lebih kecil dari Singapura.
Melayani Orang Muda di Cina
Apa saja yang bisa dikerjakan di Provinsi Cina? Sebelumnya, saya tertarik untuk menyamakan persepsi tentang “Provisi Cina” terlebih dahulu. Di sini, kami cenderung menyebutnya dengan “Chinese Province” daripada “China Province”. Alih-alih kata “China” lebih identik dengan Mainland (Cina Daratan). Sedangkan “Chinese” terkait dengan karya provinsi yang meliputi 4 tempat: Taiwan, Hongkong, Makau, dan “China” itu sendiri.
Secara umum, karya-karya di provinsi ini boleh dikatakan semajemuk dengan karya-karya di provindo. Kiranya bisa saya sebutkan sekilas: karya pendidikan menengah (ada 6 sekolah) dan pendidikan tinggi (ada fakultas teologi), karya paroki (ada 4 paroki), karya spiritualitas (ada 2 rumah retret, pusat spiritualitas Ignasian, dan beberapa kelompok CLC), karya media (ada 1 di bidang percetakan dan lainnya di bidang televisi), karya sosial (ada beberapa sentral untuk orang kusta dan HIV dan untuk penduduk asli), dan terakhir adalah karya orang muda (ada 1 asrama untuk mahasiswa dan 1 kantor pusat MAGIS).
Bagaimanakah karya orang muda itu dilakukan?
Pertama, pelayanan di bidang ini perlu diletakkan dalam konteks sejarah. Di Hongkong, misalnya, di mana dahulu sekolah menengah menjadi basis pelayanan misionaris dari Irlandia. Dan karya sekolah ini masih terasa dampaknya hingga saat ini. Tahun ini, sekolah Wah Yan Hongkong merayakan 100 tahun dan Wah Yan Kowloon merayakan 90 tahun. Sekolah ini menciptakan kader-kader di instansi pemerintah dan sektor swasta. Selain itu, juga ada pelayanan asrama untuk mahasiswa yang menempuh studi di Universitas Hongkong, universitas terfavorit di sana.
Lain lagi dengan pelayanan orang muda di Taiwan. Dulu sewaktu saya tinggal di sana, orang mudanya dikenal dengan “Strawberry Generation”, sebuah generasi yang nampaknya penuh semangat dan promising, hadir dalam macam-macam kegiatan. Tetapi, kesediaan tinggal dalam sebuah kelompok apalagi ketika dituntut sebuah komitmen bahkan ke arah ‘panggilan’ pun tidak banyak. Syukurlah, beberapa tahun ini, di Taipei ada 1 kantor pusat MAGIS, sebuah pusat pelayanan orang muda dan tidak sedikit yang terlibat. Untuk acara-acara internasional, mayoritas anak-anak muda ini membiayai dirinya sendiri. Misalnya saja MAGIS dan World Youth Days (disingkat WYD) di Panama beberapa bulan lalu, Chinese Province mengirim 25 orang anak muda. Di bulan Agustus yang akan datang, sekitar 10 orang anak muda akan ziarah sambal berjalan kaki dengan mengikuti rute Ignasius Loyola di Spanyol.
Melayani orang muda di Cina Daratan adalah hal yang sangat menggembirakan. Dalam beberapa sharing, ada kesan kerinduan mendalam dari generasi muda akan hidup rohani. Kegiatan summer camp biasa bisa diikuti 200-300 orang muda dari pelbagai provinsi. Mereka juga bekerja sama dengan Komisi Kepemudaan di Keuskupan setempat. Beberapa staf juga diundang untuk mengisi workshop, dst.
Bersama Orang Muda di Makau
Awalnya adalah sebuah kebetulan. Waktu itu, provinsi sedang menyiapkan orang-orang muda yang akan mengikuti MAGIS dan WYD di Polandia. Maka, kami (2 imam Yesuit yang berkarya di Hongkong, 1 imam dan 1 frater Yesuit di Taiwan, dan saya di Makau) mulai menyusun program pendampingan bulanan untuk itu. Di saat yang sama, Romo John Nugroho memulai mengenalkan program MAGIS, yang dikerjakannya sejak tinggal di Kolsani, di tingkat Asia Pasifik (JCAP). Praktisnya, dibagilah kelompok: yang akan ke Polandia (MAGIS dan WYD) dan yang akan ke Indonesia (MAGIS JCAP). Sebagai catatan, teman-teman yang ke Indonesia adalah yang telah mengenali spiritualitas Ignasian (melalui gerakan CLC). Sedangkan yang akan ke Polandia, mereka menjalani retret dan peregrinasi singkat, lalu ziarah ke makam St. Fransiskus Xaverius di pulau Shang Chuan (Cina).
Sekembalinya dari MAGIS dan WYD (2016) di Polandia, kelompok orang muda ini ingin terus melanjutkan relasi yang dibina antar mereka. Di situlah lalu kelompok MAGIS Makau dimulai. Mereka adalah para profesional muda dan mahasiswa tingkat akhir di universitas. Mereka juga aktivis di paroki dan kategorial. Kelompok ini kemudian menggunakan autobiografi St. Ignasius Loyola sebagai sarana sharing. Setelah selesai membaca autobiografi, kelompok ini kemudian membuka diri untuk hadirnya orang muda lain. Salah satu anggota mengikuti MAGIS JCAP di Kamboja. Lainnya, mengikuti workshop spiritualitas Ignasian. Lainnya kemudian memilih berhenti dari kelompok dan bergabung dengan CLC. Kelompok ini lalu menggunakan modul formasi MAGIS JCAP sebagai acuan. Selanjutnya, setiap bulan, para Yesuit secara bergantian memberi input dari modul tersebut. Sampai di sini, terbentuklah tim inti MAGIS Makau. Tim inilah yang berkomitmen dengan kelangsungan kelompok: menyiapkan materi, membuat evaluasi, memberi pengumuman, dst. Saya sungguh terbantu dengan antusiasme tim inti ini.
Setelah selesai menjalani modul formasi, kelompok ini melakukan discernment: hendak menjadi apakah kelompok ini? Dari bertemu setiap bulan, mereka berkomitmen berkumpul setiap minggu. Saat ini, kelompok ini berjumlah 12 orang (termasuk 6 orang sebagai tim inti). Agaknya, mereka tertarik untuk mengikuti pola pendampingan CLC. Di Makau sudah ada 3 kelompok pra-CLC.
Apa tantangan melayani orang muda di Makau?
Pertama adalah komitmen. Orang muda adalah kelompok dinamis. Jadwal sehari-hari selalu dipenuhi dengan pelbagai kegiatan. Adalah tantangan tersendiri ketika “memasukkan” kegiatan MAGIS dalam agenda dan menjadikannya sebagai prioritas aktivitas.
Kedua adalah jumlah orang Katolik yang tidak banyak. Menurut statistik, jumlah populasi penduduk Makau adalah sekitar 700 ribu orang. 4 persen dari populasi ini terhitung sebagai Katolik. Jumlah ini sudah termasuk Peranakan Portugis (Makau sebelumnya adalah koloni Portugis) dan pendatang dari Filipina (berbahasa Inggris). Belum lagi banyaknya tarekat religius yang berkarya di Makau (terdapat 10 tarekat imam dan beberapa tarekat suster) dan masing-masing memiliki “agenda” untuk menghadirkan orang muda dalam kelompoknya. Anggota MAGIS Makau seluruhnya juga terlibat dalam kegiatan di tarekat-tarekat secara parokial dan kategorial.
Ketiga adalah keterbatasan tenaga kerja Yesuit. Dalam konteks provinsi, pelayanan untuk orang muda di Makau adalah hal baru dan praktis “baru dikerjakan” setelah saya ditahbiskan (tahun 2015). Waktu itu, saya adalah imam termuda yang berkarya di Keuskupan Makau dan juga anggota komunitas termuda di rumah. Di sini perlu juga disebutkan sebuah keprihatinan: tahbisan imam terakhir Yesuit terakhir di Makau adalah 15 tahun yang lalu. Lalu, jumlah anggota provinsi kurang lebih adalah separuh dari jumlah provindo. Hanya saja, rata-rata usia anggota provinsi adalah 70 tahun. Belum lagi, tidak setiap tahun ada tahbisan diakon dan imam, sedangkan setiap tahun selalu ada saudara-saudara kita yang dipanggil Tuhan. Setiap tahun, jumlah frater yang masuk novisiat tahun pertama juga tidak lebih dari 5 orang.
Penutup
Karya orang muda di Makau hanyalah salah satu dari pelbagai bidang karya misi di Chinese Province. Dan tawaran untuk bekerja di tanah misi selalu saja hadir menanti. Di situlah “…Yesuit membantu pengembangan iman kaum muda dan secara kreatif mengadaptasi Latihan Rohani sehingga kaum muda dapat mengenal Yesus secara lebih mendalam dan mengikuti-Nya lebih dekat…,” sebagaimana menjadi “Tanggapan Kita” di dalam dokumen “Preferensi Kerasulan Universal” tentang kaum muda.
Oleh: Vincentius Haryanto, SJ