Salam damai Kristus para Nostri yang terkasih. Saya Aaron Lee Chee Khong dari Malaysia yang kini sedang studi dan mengambil kuliah program Matrikulasi Pascasarjana selama 1 tahun sebelum mengambil kuliah S2 di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Saya ingin memulai refleksi saya tentang hidup studi 6 bulan saya di Jakarta dengan sebuah kisah panggilan Maria. Saya yakin teman-teman Nostri tidak asing dengan kisah ini. Sebagai gadis muda, Maria menerima panggilan Allah yang akan mengubah seluruh hidupnya. Panggilan Maria membingungkan Yosef. Panggilan Maria juga mengubah hidup Yosef. Yosef bergulat dengan Tuhan mengenai kehamilan Maria. Pastilah di tengah kebingungan dan kegalauannya, Yosef bertanya: Haruskah aku menceraikan Maria? Bagaimana melaksanakannya? Lewat pergulatannya dengan Tuhan, Yosef mulai paham bahwa jalan Tuhan, yang bukan jalannya, terwujud dalam peristiwa sulit ini. Dengan kesabaran, harapan dan iman Yosef menunggu kepenuhan misteri Allah ini terungkap.
Mengapa saya mengambil kisah di atas? Ini karena saya merasakan diri seperti Yosef yang bergulat dengan Tuhan mengenai kehamilan Maria. Jangan salah paham teman-teman. Saya tidak mengakibatkan kehamilan seorang perempuan di Indonesia sepanjang kurang lebih 6 bulan tinggal di Jakarta, tapi apa yang menjadi pergulatan dengan Tuhan adalah mengenai perutusan saya ke Indonesia untuk formasi intelektual yaitu studi Filsafat. Terus-terang dalam tiga bulan awal studi filsafat, saya masih bertanya pertanyaan seperti: “Mengapakah saya harus studi Filsafat? Apakah saya bisa studi Filsafat dengan umur saya yang telah mencapai 30-an ini?” Selain itu, faktor bahasa juga merupakan tantangan bagi saya terlebih saya harus menggunakan Bahasa Indonesia dalam studi filsafat. Walaupun Bahasa Malaysia dan Bahasa Indonesia dikatakan serumpun dan awalnya dari Melayu, namun dari segi penggunaan bahasa itu amat jauh bedanya. Terkadang perkataan yang sering dipakai di Malaysia belum tentu akan dipakai di Indonesia dan sebaliknya. Satu contoh yang ingin saya berikan di sini adalah perkataan gratis. Awalnya saya merasa binggung apa artinya gratis. Kok, rupa-rupanya perkataan yang dipakai di Malaysia yang membawa arti yang sama adalah percuma. Sudah tentu banyak lagi perkataan yang jauh beda penggunaannya. Silakan jangan malu bertanya langsung kepada saya kapanpun Anda bertemu dengan saya. Bila saya merefleksikan secara mendalam, apa yang menjadi tantangan besar di awal tiga bulan studi filsafat sebenarnya bukan faktor umur atau bahasanya, tapi soal pola pikir (mindset) dan ketidakbiasaan.
Soal mindset itu bertumbuh ketika awal saya bekerja sebagai seorang guru delapan tahun yang lalu sebelum memasuki Serikat Yesus. Waktu itu, saya telah nekad bahwa saya tidak mau lanjutkan studi ke S2 karena apa yang penting adalah belajar lewat pengalaman mengajar. Ditambah lagi, gaji bulanan waktu itu juga agak lumayan dan saya mengatakan kepada diri sendiri bahwa studi S1 sudah mencukupi bagi hidupku. Oleh karena itu, perasaan malas menyelubungi benak saya. Saya merasa senang tinggal di zona nyaman. Saya bersyukur kepada Tuhan karena ia dengan perlahan membawa saya keluar dari zona nyaman. Pikiran saya yang dilanda kedangkalan melewati hari pertama saya melangkah ke kuliah Matrikulasi. Di situ saya melihat dan berkenalan dengan banyak ibu dan bapak yang mengambil kuliah Matrikulasi. Malahan banyak antara mereka yang sudah bekerja dan umurnya lebih dari 40. Saya bisa meninjau secara cermat teman-teman Matrikulasi yang terdiri dari berbagai profesi contohnya penulis, arsitek, guru piano, dosen, dokter, pengacara, pendeta, penerjemah, pakar motivasi dan sebagainya. Saya teringat dengan apa yang dipelajari dari novisiat tentang kisah Santo Ignasius. Sambil meneliti kehidupan Tuhan dan orang-orang kudus, Ignasius mulai berpikir, berkata pada dirinya sendiri: “Bagaimana jika saya harus melakukan apa yang dilakukan Santo Fransiskus atau bertindak seperti Santo Dominikus?” Seperti Santo Ignasius, saya berkata pada diri sendiri: “Jika ibu-ibu dan bapak bisa studi dan tidak berhenti menimba ilmu, saya juga harus tunjukkan semangat Magis dan mampu studi seperti mereka bukan?” Maka dari itu, pola pikir yang lama harus saya buang jauh-jauh dan memeluk apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Mengenai ketidakbiasaan, saya yakin itu dapat diatasi jika saya rajin membiasakan diri dengan membaca buku-buku filsafat bahasa Indonesia atau membaca koran Kompas yang selalu tersedia di komunitas Kampung Ambon. Saya teringat apa yang disampaikan oleh Romo Irsan, Magister ketika saya menjalani dua tahun Novisiat di Myanmar dan kata-katanya memberi daya inspirasi bagi saya untuk terus berjuang dan tidak mudah berputus asa. Kata Romo Irsan sederhana yaitu jika kita mau mahir dalam sesuatu, kita haruslah tekun berlatih agar menjadi kebiasaan. (It’s the matter of practice! Practice makes perfect!) Hingga detik ini, Anda mungkin bertanya apakah saya merasa senang dengan studi filsafat? Jawaban saya adalah positif. Saya melihatnya sebagai bagian dan sarana dari formasi, bukan tujuan. Tujuan utama saya merefleksikannya adalah untuk membentuk pribadi saya menjadi seorang Yesuit yang memiliki kemampuan-kemampuan dasar, keterampilan-keterampilan intelektual, dan pengetahuan untuk melakukan refleksi dan diskusi filosofis atas pelbagai masalah dalam Gereja dan masyarakat yang menjadi tantangan kerasulan saya masa depan. Selain merefleksikan studi saya, satu hal yang ingin saya bagikan adalah rahmat tiga komunitas yang Tuhan berikan kepada saya. Tiga komunitas itu adalah komunitas studi Matrikulasi, komunitas Kampung Ambon dan komunitas Angkatan Skolastik Tahun pertama. Sepanjang kurang lebih 6 bulan di Jakarta, saya amat bersyukur karena saya punya tiga komunitas yang mendukung saya dari pembetukan saya untuk menjadi seorang Yesuit. Saya melihat aspek hidup berkomunitas itu memegang peran yang penting dalam pembentukan kegiatan studi, hidup rohani, pengembangan kepribadian, kemampuan merasul, dan pemupukan semangat persaudaraan dalam Tuhan. Secara keseluruhan, saya cukup senang dan menyukai gagasan hidup dalam komunitas. Bagi saya, ini adalah kesempatan bagus untuk bergaul dengan banyak teman yang memiliki mimpi yang sama dengan saya dan beberapa dari latar belakang, bakat, ide, dan sebagainya yang berbeda. Terlepas dari semua perbedaan, namun kita dipanggil untuk melayani bagi kemuliaan Allah yang lebih besar dengan menjadi Jesuit. Semoga sepanjang studi filsafat di Jakarta bisa membantu saya berserah diri kepada kehendak Tuhan, dan semoga saya memiliki keberanian untuk membiarkan Tuhan membawa saya lebih dalam. Saya mengakhiri refleksi singkat saya ini dengan kutipan dari Santa Teresa: “Saya tidak tahu apa yang sedang Tuhan lakukan. Dia tahu. Kami tidak mengerti, tapi satu hal yang saya yakin, Dia tidak melakukan kesalahan”. Dengan kesabaran, harapan dan iman seperti Yosef, saya menunggu kepenuhan misteri Allah ini terungkap suatu hari nanti. A.M.D.G.
Aaron Lee Chee Khong, SJ