Semuanya bermula dari pembaptisan seorang bayi bernama Eric Edward van Ameron anak pasangan suami-istri Belanda Frederick Hendrik van Ameron dan Irene Adolphine C. Pater J. van Leengoed, S.J. membaptis sang bayi pada 23 Mei 1948. ikal bakal itu telah menumbuhkan belasan ribu umat di Paroki Tangerang Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda (HSPMTB). Data pada catatan Paroki per Mei 2021 menunjukkan jumlah umat telah mencapai 5.969 kepala keluarga (KK) Sejarah juga mencatat pemekaran Paroki Tangerang menjadi enam paroki.
Pada tahun 1948 Mgr. Petrus Willekens, S.J. menempatkan P J. van Leengoed, S.J. di Tangerang sekaligus sebagai pastor tentara. P Laurentius van der Werf, S.J. (saat itu Pastor Kepala Mangga Besar) hadir untuk ikut menangani Tangerang. Masyarakat Tangerang saat itu terdiri atas dua suku besar, yakni suku Tionghoa dan suku Banten yang sudah ada berabad-abad sebelumnya. Pater Werf yang ahli dalam misi Tionghoa, beberapa kali dalam seminggu mengunjungi ladang barunya. Usaha yang tak kenal lelah dari Pater Werf tersebut menjadikan Mgr. Willekens, pada tahun 1952, berkenan menjadikan Tangerang sebagai paroki dari Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) dengan nama Hati Maria Tak Bernoda.
La Petite Histoire (sejarah kecil) Paroki Tangerang itu diangkat oleh P Benedictus Hari Juliawan, S.J. dalam homili pada misa konselebrasi Hari Raya Pentakosta, sekaligus memperingati ulang tahun ke-73 Paroki Tangerang, pada hari Minggu (23/5) lalu. Dalam misa itu, Pater Provinsial didampingi konselebran PP Walterus Teguh Santosa, S.J. (Pastor Kepala), Justinus Sigit Prasadja, S.J. (Pastor Ekonom Provindo), Simon Petrus Bambang Ponco Santoso, S.J. (Pastor Rekan), dan Ignatius Suryadi Prajitno, S.J. (Pastor Rekan).
“Berawal dari pembaptisan bayi (usia dua bulan), sekarang menjelma menjadi paroki yang besar,” kata Pater Provinsial. Dalam perayaan Pentakosta itu, Pater Provinsial mengajak umat kembali untuk merefleksikan buah-buah roh. Roh itulah yang menguatkan dan menopang perjalanan Paroki HSPMTB sehingga menjadi paguyuban umat yang besar dan kuat, terlebih di dalam menghidupi perjalanan iman. Proses perkembangan tersebut mengingatkan akan adanya kekuatan yang menemani, mengupayakan kebersatuan umat. Kekuatan yang menemani itu ditegaskan oleh Pater Provinsial sebagai Roh Kudus, dari kata parere-parakletos, yang ada di samping, untuk bersama dan menemani. Menemani berarti membantu umat untuk mengambil keputusan, mengajak berbicara, dan ikut menemani di saat-saat sulit. Kehadiran roh ini adalah roh yang mempersatukan, meski perbedaan akan selalu ada. Untuk itu perbedaan itu tak bisa dan tak perlu dihapus, sebab merupakan bagian dari rahmat Tuhan sendiri.
Bacaan pertama dari Kisah para Rasul (Kis 2: 1-11), kiranya aktual dalam konteks dampak pandemi covid-19 di dunia kita sekarang ini. “Para murid saat itu tengah mengalami ketakutan dan mengunci diri pada suatu ruangan. Kemudian Roh Allah datang dalam rupa lidah-lidah api dan tiupan angin keras. Sama seperti angin dan api yang menandai kehadiran Allah saat Musa mendapat sepuluh perintah Allah di gunung Sinai,” kata Pater Provinsial. Saat ini pun umat juga tengah takut dan mengunci diri oleh karena covid-19. Pater Provinsial mengajak umat mau membuka diri untuk kehadiran Roh Kudus dalam perjalanan iman. Bagaimanapun berbagai macam persoalan akan selalu ada dalam kehidupan yang dijalani, maka dengan kehadiran Roh yang menguatkan itu kita berani menghadapi segala tantangan. “Hidup itu selalu penuh cobaan, kalau penuh dengan saweran itu namanya dangdutan,” demikian tulisan di sebuah bak truk yang disitir oleh Pater Provinsial.
Kontributor: P Ignatius Suryadi Prajitno, S.J. – Paroki Tangerang