Cerita ini berawal dari beberapa hari setelah Imlek kemarin. Kami, formandi se-provinsi Cina, punya kebiasaan kumpul setiap tahun setelah Imlek di Wisma Teologi (Theologate) di Taipei, Taiwan. Tempat ini semacam Kolsani-nya provinsi Cina dan Fu Jen Catholic University ibarat Universitas Sanata Dharma dan Kentungan. Sekedar informasi, beberapa romo sepuh masih ingat Romo Hendra Sutedja (waktu itu dipanggil Rudy) yang menjalani formasi teologi di sana.
Kembali ke cerita temu formandi tahunan, temu ini biasanya dihadiri oleh para frater TOK-er (belajar bahasa Mandarin dan praktek merasul), teologan (Fu Jen dan fakultas teologi di Hong Kong), dan para romo muda (dari Hong Kong, Macau, Taiwan, dan Cina Daratan). Inilah kesempatan bagi kami untuk saling kenal dan berbagi kisah. Setiap tahun ada sekitar 30 orang yang hadir. Tidak banyak.
Waktu itu, “Covid-19” membuat pertemuan kami sedikit berbeda. Pertama, teman-teman yang memegang paspor Cina Daratan tidak boleh naik pesawat dan menuju Taiwan. Lalu, menjelang selesai acara, saya dan beberapa Jesuit yang bekerja di Macau mendapat email: rute pesawat kami ke Macau diubah jam keberangkatannya, bahkan ditunda sampai keesokan hari. Oleh kepala sekolah tempat saya bekerja, bahkan saya diwanti-wanti untuk segera kembali ke Macau sebelum 5 Februari 2020. Betul saja, setelah itu, semua ditutup: bandara, kasino, sekolah, taman kota, gereja, dan kantor. WFH istilahnya. Buat yang bekerja di sekolah istilahnya Tíng xiào, bù tíngkè (tutup sekolah, tidak tutup kelas). Pengajaran tetap dilakukan dari rumah. Syukurlah, sejak awal Maret, kantor dan kasino sudah dibuka. Misa harian sudah diperbolehkan. Hanya misa di hari Minggu dan kegiatan belajar mengajar tetap online sampai sekarang.

Bagaimana teman-teman di Cina? Sama saja. Awalnya semua tinggal di komunitas. Semua pelayanan pastoral dilakukan online: sharing renungan, menulis artikel dan refleksi, bimbingan rohani, dan seterusnya. Dua minggu terakhir, mereka kembali beraktivitas “di luar”. Memang, masih belum dikatakan pulih sesungguhnya. Seperti di Macau tadi, mayoritas di seluruh Cina, grafik yang terjangkit vírus ini sudah menurun.
Efek “Covid-19” juga terasa signifikan di komunitas Macau tempat saya tinggal sekarang. Hari-hari kami jadi lebih banyak di rumah dan lebih banyak bersama. Misalnya, misa harian dan hari minggu, sekarang ini “lebih banyak” dihadiri anggota komunitas. Begitu juga ketika makan bersama, ada rekreasi bersama (menonton: “The Two Popes” dan “Parasite”, film korea yang memenangkan piala Oscar), dan pertemuan kecil lainnya.
Memang, tidak tepatlah melihat “Covid-19” sebagai sebuah ‘rahmat’ dan ‘berkat’. Tetapi, untuk kami yang berkarya di Provinsi Cina, bolehlah kedua kata itu disematkan dalam hidup berkomunitas. Ada kebersamaan, companionship. Kami juga tidak tahu sampai kapan semua orang di Macau boleh melepas masker ketika keluar rumah dan tidak lagi kuatir dengan tidak perlu membawa hand sanitizer setiap saat.
Kisah Kecil di Bilik Kamar Misionaris
Vincentius Haryanto, SJ